RAGA YANG TERTUKAR (?)
 A Short Story ‘bout RiFy
 My First strange story… :D
 Nggak ding...
 Ini nyontek dari komik.
 Aku cuma mau ubah ceritanya mjd teks narasi.
 Hope you like it!
IFY POV
                Seperti biasanya, istirahat pertama sedang berlangsung  siang ini. Teman-teman sekelasku,, atau lebih tepat nya ku panggil  ‘Murid-murid di kelasku’, lebih memilih untuk keluar ke kantin,  perpustakaan, main basket, dan tempat-tempat lain yang lebih  menyenangkan daripada harus mendekam di kelas X3 yang gelap dan sumpek  ini.
Seperti itulah aku. Inilah aku. Aku, IFY! Seorang gadis kuper yang  selalu menghabiskan waktu istirahat pertama dan keduanya dengan mendekam  di dalam kelas. Kalian tahu alasannya? Tentu saja. Karena aku tak  mempunyai seorang teman pun. TAK PUNYA. Mengerikan bukan? Maka dari itu,  aku paling tidak menyukai jam istiraht di sekolahku ini. Karena tak ada  yang mau mengajakku sekedar untuk berbicara ringan. Semuanya seperti  segan untuk bertatap muka langsung dengan ku. Aku tahu itu hal yang  buruk. Dan aku selalu ingin merubahnya. Tapi itu terasa sangat SULIT.  Seperti sekarang ini..
Aku yang memang sedang tak ada kerjaan, lebih memilih untuk  membolak-balik buku paket Matematika ku. Bermaksud untuk menghilangkan  rasa bosan yang selalu menggeluti ku saat jam istirahat berlangsung.  Tapi,, bukannya menghilang, rasa bosan itu malah semakin menjadi. Aku  melengos, memutuskan untuk meletakkan buku paket matematika itu ke dalam  laci, dan kemudian memandang  keluar kelas melalui jendela kaca yang  dipasang tepat disampingku.
“Hufftt.. Sama saja seperti hari-hari yang lalu… Tak ada yang mau  berteman denganku.. :(” Aku bergumam pelan sehingga hanya aku lah yang  dapat medengar gumam-an ku barusan.
“Eh,, Maaf, Ify… Kamu bisa bantu aku mengerjakan tugas Matematika yang  nomor 8 nggak?” Tanya seseorang dari belakangku. Reflex aku sangat  terkejut. Tapi dalam hati, sebenarnya aku merasa senang karena ada  seseorang yang mau berbicara denganku. Aku segera membalikkan badan,  menghadap lawan bicaraku sembari membenarkan posisi kacamata ku yang  layaknya seperti ‘Pantat Botol’.
“Eh? Iya? Yang mana?” Tanya ku tiba-tiba dengan gelagapan, karena aku  memang benar-benar terkejut karena nya. Ternyata, Shilla –orang yang  menyapa ku tadi-, malah balik kebingungan mau menjawab pertanyaanku  barusan.
“Sudah lah, Shill… Nanti saja, yah…” ujar Agni yang kini sudah berdiri tegak disamping Shilla.
“Eh? Iya deh.. Maaf kalau sudah mengganggu mu yah, Fy.. Aku pamit..”  ucap Shilla terbata-bata namun dengan nada suara yang tetap rama,  kemudian segera meninggalkanku dan kembali ke tempat duduknya.
Lagi. Kejadian yang sama terus terjadi setiap harinya. Mengapa? Mengapa  aku harus seperti ini? Kenapa? Kenapa semua orang merasa segan untuk  berbicara atau bahkan hanya sekedar menyapaku? Apa karena aku memang  sangat sulit untuk mengucapkan kata-kata? Kadang aku berpikir kalau  Tuhan itu ga adil. Aku lebih baik menjadi BODOH, tapi mempunyai banyak  teman. Dari pada seperti ini?
Ku ambil lagi buku paket matematika ku yang awalnya berada di dalam laci  meja. Kubuka halaman demi halaman, bermaksud untuk mencari soal yang  dimaksud Shilla.
“Nomor 8? Inikan mudah sekali…” batinku begitu melihat soal yang  dimaksud Shilla. Kuberanikan diri untuk memanggil Shilla dan akan  mencoba menjelaskan pada Shilla.
“Ehm,, Shill… Nomor dela…” baru saja aku ingin memanggilnya, tiba-tiba  Cwo tercakep dan terkeren di kelasku –menurut kaum hawa di kelasku.  Kecuali aku tentunya-, RIO masuk ke kelas.
“Woyy.. Semuanya! Gue masuk tim Sepak Bola inti, lho…” Rio berteriak  heboh dan akhirnya mengundang teriakkan histeris dan ucapan selamat dari  semua murid yg kebetulan sedang berada di dalam kelas –Kecuali aku  tentunya-.
Gagal. Aku gagal memanggil Shilla karena sekarang dia sudah berada di  gerombolan murid-murid yang sekarang sedang memberikan ucapan selamat pd  Rio. Aku Cuma bisa melengos, dan kemudian memasukkan lagi buku paket ku  ke dalam Laci meja. Aku melanjutkan lagi lamunanku, memandang keluar  kelas melalui Jendela yg berada tepat disampingku tadi.
“TREEEETTTT…” Ah. Bel itu. Berarti aku harus segera mempersiapkan diri  untuk mengikuti pelajaran berikutnya. Tapi kali ini aku tak begitu  bersemangat, karena pelajaran ini adalah pelajaran yang paling tak  kusukai. OLAHRAGA. Memang menjadi pelajaran favorit beberapa murid  dikelasku –terutama yang laki-laki-. Aku tak menyukainya. Karena aku  adalah si pintar yg LAMBAN.
***
“Oke, anak-anak… Pelajaran kita pada hari ini adalah MARATHON.” Ucap Bu  Ucie di awal pertemuan nya dengan kami hari ini. Dalam hati aku  mendengus sebal. Kenapa harus marathon sih? Aku yang lamban ini tak  mungkin bsa Bertahan untuk lari sejauh itu.
“Nah. Kita mulai saja. Kalian harus lari mengelilingi lapangan sepak  bola ini sebanyak 5 kali putaran. Mengerti semuanya?” Tanya Bu Ucie.
“Mengerti, Bu…” Respon semuanya. Kemudian segera melaksanakan perintah beliau.
Sekarang semua sedang berlari mengelilingi Lapangan Sepak Bola yang luas  itu. Aku yang memang Lamban malah tertinggal jauh dari gerombolan  murid-murid yang lain. Kadang ku dengar teriakan Rio yang penuh  Semangat.
“Ayooo!! Lari teruuuss!!” Yah. Rio memang murid terlincah di kelasku.  Tak heran kalau dia bisa ikut tim Sepak Bola inti di sekolahku ini.
Hyaaa… Aku semakin tertinggal jauh. Langkahku mulai berat. Aku nyaris jatuh terjerembab.
“Semangaatt! Lari terus sampai besoookk!!” Terdengarlah teriakan penuh  semangat milik Rio dari belakangku. Aku segera menoleh ke belakang dan  melihat Rio yang sedang berlari tepat di belakangku. Mungkin dia telah  berhasil mengelilingi lapangan sepak bola ini sekali putaran paling  cepat dari murid-murid lainnya. Dan keadaan ini semakin membuatku tak  ingin kalah dari nya. Aku percepat langkahku. Namun saking letihnya,   pandanganku mulai kabur, dan tak sengaja kakiku tersandung sebuah batu  besar yang akhirnya sukses membuatku jatuh.
BRUAAAKKKK…
Tapi, tunggu… Sepertinya bukan hanya aku saja yang terjatuh. Aku menoleh  kebelakangku dan melihat tubuh Rio terjatuh juga. Sepertinya Rio  menabrakku ketika aku jatuh tersandung batu besar tadi. Tapi, kemudian  kepalaku terasa berat, mataku mulai sayu. Semakin gelap. Dan kemudian  aku jatuh pingsan.
***
 “Rioo.. Rio… Lo Gapapa?” rombongan anak laki-laki mulai mengerumuni  tubuhku. Aneh… Tubuh ku? Tapi kenapa mereka memanggil ku Rio? Alvin,  salah satu sahabat terdekat Rio mendekat dan mulai menampar pelan pipi  ku.
“Woyy.. Bangun dong, lo…” Terdengar teriakannya.
Kubuka mataku perlahan. Teriknya sinar matahari membuat mataku silau.  Sekarang aku melihat beberapa anak laki-laki sedang mengerumuni tubuhku.  Aneh… Tidak biasanya mereka se-khawatir ini pada ku. Dengan bantuan  Alvin dan beberapa anak laki-laki lainnya, aku yang masih bingung dengan  keadaan yang aneh ini segera bangun dan duduk di atas rerumputan.
“Lo enggak apa-apa kan? Masih normal kan lo?” Tanya Alvin pada ku penuh  kekhawatiran, dan ini membuatku semakin bingung. Apa mungkin Tuhan  melakukan semua ini? Jika iya, Aku sungguh berterima kasih pada Nya,  karena sekarang aku mempunyai begitu banyak teman.
Aku hampir saja menjawab pertanyaan Alvin barusan. Namun sebuah suara yang cukup kasar mengagetkan ku dan murid-murid lainnya.
“Eh, Woyy!! Aje Gile lo semua… Liat nih… Gue kesakitan kayak gini, kok  malah nggak ditolong??”. Suara itu, sepertinya tak asing bagi telingaku.  Akhirnya aku, Alvin dan murid-murid yang tadi mengerumuniku segera  membalikkan badan untuk melihat si empunya suara.
JREENNGG…
“APAAAA???” Teriakku dan si empunya suara kasar bersamaan.
“ELOOO??” Tanya si empunya suara.
“KAMUUU??” Tanyaku penuh kebingungan. Sementara aku dan si empunya suara  masih saling kaget-kaget an, anak-anak lainnya malah bingung.
“Lho, Yo?? Emang lo nggak kenal sama Ify, yah?? Kok sampai kaget begitu??” Tanya Cakka kepada ku.
“Kok aku ada disana??” Gumamku kebingungan. Ada apa ini sebenarnya?  Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Segera aku memperhatikan tubuhku  sendiri. Benar saja. Ini bukan tubuhku. Ini tubuh RIO. Sepertinya jiwaku  sedang berada di tubuhnya. Aku mengalihkan perhatianku kearah si  empunya suara itu. Dan aku melihat diriku (Tubuhny Ify maksudnya) sedang  menatap heran ke arahku (Bingung yee?? Sorry… Gue ga bisa menjelaskan  nya secara detail. Jadi intinya, Rio sama Ify itu tukeran raga.  Begitu.). Apa mungkin itu adalah RIO? Apakah kami bertukar RAGA??  CELAKA!
“Apa-apaan ini?? Kok gue jadi kayak gini sih?? Kenapa gw ada di sana? Gw  disini woyy… Kok jadi kayak begini sih??” Tanya Rio –dengan raga IFY-  sambil menunjuk-nunjuk ragany yang sedang ditempati olehku.
Setelah mendengar perkataan Rio –dengan raga Ify- yang kasar dan tak  seperti biasanya, Sivia segera melangkah kearah Rio -raga Ify-, kemudian  memegang kening ny.
“Sakit lo, Fy? Kok jadi ngawur gitu sih ngomongnya??” Tanya Sivia bingung pada Rio-dgn raga Ify-.
“Si… Siviaa… Tunggu dulu…” Aku berbicara terbata-bata. Sebelum  melanjutkan perkataanku, peluit Bu Ucie memekakkan telinga kami semua.
“Ada apa ini? Mario! Alyssa! Kalian nggak apa-apa kan?” Tanya Bu Ucie tegas.
Karena kejadian aneh ini, aku dan Rio malah saling tatap-tatappan dengan  bingungnya, tak bisa menjawab pertanyaan Bu Ucie. Sebab, jika ku  katakan apa sebenarnya yang sedang terjadi, Bu Ucie dan anak-anak lain  tak akan mempercayai nya. Aku yang mengalami nya saja begitu sulit untuk  mempercayai keanehan ini. Apa lagi mereka? MUSTAHIL! Bagaimana mungkin  aku dan Rio bisa bertukar raga? Yang ada nantinya, aku dan Rio malah  dikatai GILA.
“Kok kalian nggak menjawab? Kalian baik-baik saja kan? Dasar anak-anak  zaman sekarang. Selalu mencari kesempatan untuk bermain-main dahulu.  Sudah !! Lari lagi sana! Apa perlu saya tambah 2 putaran lagi?” Ucap Bu  Ucie penuh amarah.
“PRIIIIITTT…” Bersamaan dengan bunyi peluit itu, semua murid berlari. Termasuk aku –dgn raga Rio- dan RIO –dgn raga Ify-.
***
                Kini pelajaran PKn sedang berlangsung di kelasku. Aku  tak lagi menduduki bangku yang biasanya aku tempati. Kini aku duduk di  bangku milik Rio. Aku sangat panic. Masih saja memikirkan ‘Bagaimana  mungkin hal itu dapat terjadi?’ Ku tutupi wajahku yang penuh keringat  dengan kedua telapak tanganku yang bergetar hebat dan sangat dingin.  Seharian ini kesialan sudah menimpaku berkali-kali. Ditambah lagi, tadi  aku harus menukar pakaian olahraga dengan seragam Rio di ruang ganti  untuk anak laki-laki. Nampaknya, tak lama lagi, aku akan segera menjadi  orang STRESS.
                “Kenapa lo, Yo? Sakit?” Tanya Iel yang ada dibelakang ku  sambil menyentuh pundak kananku. Aku segera saja menggelengkan kepalaku  masih dengan kedua telapak tanganku menutupi wajahku. Sekarang  penjelasan Pak Dave yang sedang mengajar di depan kelas itu, seakan-akan  tak bisa lagi kudengarkan. Ku edarkan pandanganku ke penjuru kelas.  Aneh! Dimana Rio dan ragaku?
                “Yak! Jadi, Demokrasi Sosialis adalah sebuah sistem  pemerintahan yang lebih mementingkan kepentingan pemerin…” Pak Dave yang  sedang menjelaskan pelajarannya, berhenti sesaat ketika seseorang  mengetuk pintu kelas. Kesunyian yang ada dikelasku tadi kini berganti  dengan kericuhan. Murid-murid lain saling berbisik sambil mengerutkan  kening mereka masing-masing begitu melihat orang yang berada di depan  pintu kelas. Aku mengikuti arah pandangan mereka dan menemukan RIO-dg n  raga Ify- yang penampilannya acak-acak sekali. Kemeja putih yang  dikenakannya tak dimasukkan ke dalam roknya. Rambut yang biasanya  terkepang rapi kini tampak sangat berantakan. Lengan kemejanya digulung  keatas dengan asal-asalan. Kacamata pantat botol yang dikenakannya  miring sebelah, dan Hidungnya mimisan. Bukan seperti IFY yang biasanya.
                “Permisi Pak…” Ujarnya kasar tanpa sopan santun sama sekali. Pak Dave mengerutkan keningnya.
                “Kamu kenapa Alyssa?? Kenapa baru masuk sekarang? Dan  penampilan kamu?? Huhh… benar-benar tak layak. Sebaiknya, kamu duduk  diluar saja. Jangan masuk ke kelas sebelum Bel berbunyi. MENGERTI!?”  Ucap Pak Dave tegas.
                Huuhh… Dasar Rio. Dia telah membuat harga diriku jatuh  kalau begini. Setelah dibentak oleh pak Dave seperti tadi, bukannya  meminta maaf atau memperbaiki penampilannya, dia malah tersenyum girang.  Dan dengan senang hati melangkah keluar kelas dengan loncatan-loncatan  kecilnya. Kalau saja aku punya keberanian lebih, mungkin nanti sepulang  sekolah aku akan segera membuat perhitungan dengannya.
SKIP
***
“TRREEETT…” Bel pulang sekolah telah berbunyi. Semua murid telah pergi  meninggalkan kelas. Tak seperti biasanya, kini aku masih tetap duduk  dibangku kelas. Menunggu semua murid pulang, dan segera mencari Rio  untuk berbicara padanya. Itupun kalau aku berani.
                Yakk. Kulihat dia sedang membereskan buku-buku milikku  ke dalam tas ku. Segera saja kuberdiri dari tempat duduk nya dan  berjalan kearah nya.
                “Ri… Rioo..” Panggilku pelan.
                “Hmm..” Ujarnya cuek.
                “Kitaa… Perluu Bicara! Sekarang.” Ucapku lagi.
                “Gue nggak bisa!” Balasnya tak peduli, sukses membuat mataku terbelalak.
                “Ke… kenapa begitu? Ini menyangkut hidup kita. Aku nggak  mau seperti ini terus.” Aku mulai naik darah mendengar jawaban singkat  namun sukses membuatku jengkel akan sifat ke-tidak peduliannya itu.  Kulihat dia melengos sekali.
                “Dengar, yah. Gue harus segera berada di lapangan  sekarang. Karena sebentar lagi gue dan teman-teman gue yang lain mau  latihan sepak bola. Jadi, gue nggak bisa ngomong sama lo sekarang.”  Ucapnya sambil membetulkan posisi kacamata nya yang miring.
“Ta… Tapii, kaann…” Ujarku terbata.
“Kalau lo tetap mau ngomong sama gue, lo bisa tungguin gue selama  latihan berlangsung. Yah, itupun kalau lo mau…” Balasnya memotong  ucapanku.
“Hmm,, Oke. Aku akan tungguin sampai kamu selesai latihan.” Jawabku setelah berpikir sesaat.
SKIP
                Kami memasuki lapangan sepak bola lagi. Kulihat beberapa  anak laki-laki sedang berlatih. Baru kali ini kuperhatikan mereka  bermain bola sesiang ini. Biasanya, setelah pulang sekolah, aku segera  bergegas pulang dan tak sempat memperhatikan lapangan sepak bola yang  ternyata sepenuh ini ketika sekolah usai. Aku tersenyum kecil melihat  mereka semua.
                PLAKK! Baru kuingat kalau Rio kini sedang menggunakan  ragaku dan aku mengenakan raganya. Bagaimana mungkin Rio bermain  menggunakan tubuhku? Yang ada malah aku yang akan bermain sepak bola  bersama anak laki-laki lainnya karena dikira Rio. Padahal aku sama  sekali tak mengerti caranya bermain bola. Aku mulai panic. Bagaimana  ini?
                “Tu… Tunggu dulu, Rio.” Panggilku sambil menahan tangannya.
                “Apa lagi sih??” Tanyanya sambil menoleh kearahku.
                “Kau tak sadar? Bagaimana mungkin kau bisa bermain  dengan tubuhku itu? Yang ada malah aku yang disuruh main sama mereka  karena mereka akan mengira aku adalah kamu. Bagaimana ini? Tolong  selamatkan aku. Aku tak tau caranya bermain bola sama sekali.”
                “Ah! Benar juga lo! Gimana yah? Gini aja deh… Nanti  eloo…” Baru saja Rio ingin menjelaskan solusinya. Tapi langsung dipotong  oleh beberapa anak laki-laki yang datang menghampiri kami.
                “Eh, Riooo… Ayo main sini…” Teriak mereka semua.
                Oke. Aku mulai panic. Rio tampaknya sangat antusias. Uh! Dasar Rio! Bagaimana solusinya, Yo??
                “Ayok ayok… Gue lagi pengin banget ini latihan.” Jawab  Rio –dgn raga Ify- menanggapi ajakan mereka. Aduh, Rio… Yang mereka  maksud sekarang ini adalah aku. Bukan kamu. Kini sahabat-sahabatnya  mengerutkan kening masing-masing, kemudian saling menatap satu sama lain  dengan tatapan BINGUNG mungkin, Karena melihat perubahan drastis yang  terjadi pada diriku. Padahal itu sebenarnya adalah Rio, sahabat mereka  sendiri. Ku lihat, Riko segera maju menghampiriku kemudian menarik  tanganku mendekati rombongan anak laki-laki itu.
                “Eh… Kita itu ngajakkin Rio. Bukan elo. Lo belajar aja  lagi sana… :p” Ucapnya kasar sambil menjulurkan lidahnya, mengejek Rio  –dgn raga Ify-. Uhh… Aku semakin panic. Keningku mulai penuh dengan  keringat saking takutnya. Sambil berjalan, Aku menatap Rio yang masih  berdiri terpaku tepat dibelakang. Aku menatapnya seolah-olah berkata  “Tolong. Bantulah aku.” Oh. Kupikir dia mengerti. Setelah itu dia  langsung berteriak nyaring sehingga membuat sahabat-sahabat nya berhenti  dan membalikkan badan mereka lagi menghadap Rio –dgn raga Ify-.
                “Woyy… Gimana kalau gue ikut main sama lo lo pada? Gue  pengin banget belajar main bola. Pleaseee… Boleh yah?” Ujarnya dengan  semangat 45 dari tepi lapangan. Aku segera menundukkan kepalaku dan  menggeleng kecil. Rio memang nggak bisa diandalkan. PAYAH!
                “Nggak usah lha, Fy… Ntar lo luka-luka lagi… Kita juga yang repot nantinya…” Keluh Cakka.
                “Ta… Tapi kan…” Rio –dgn raga Ify- berusaha menjawab. Namun perkataannya segera dipotong oleh Alvin.
                “Udah deh, Fy… Ga usah. Jangan nyolot gitu deh…” Tegas  Alvin. Ha! Kali ini Rio –dgn raga Ify- yang gantian menatapku dengan  pandangan seolah-olah berkata “Tolong, ikutkan aku”. Oke. Kali ini akan  kubantu. Kucoba untuk mengabulkan permintaannya kepada  sahabat-sahabatnya dulu.
                “Emm… Guys! Biarin aja dulu Ify main sama kita. Supaya  dia bisa belajar cara main bola yang baik. Kalian setuju nggak?” Tanya  ku ragu-ragu. Agak lama kami berunding. Dan akhirnya, keputusan final  telah didapat.
                “Yaudah, Fy… Lo boleh ikut kita main. Tapii,, kalau  misalnya ntar elo terluka kita ga mau tanggung jawab yah?” Panggil Iel  dari jauh membuat Rio –dgn raga Ify- girang bukan main. Wajahnya penuh  keceriaan. Dengan lompatan-lompatan kecilnya, dia berlari menuju kearah  kami.
***
Permainan dimulai. Bola didapat oleh Alvin. Alvin mulai menggiring bola  nya di lapangan sepak bola berumput hijau yang cukup luas itu. Alvin  mulai dihadang oleh tim lawan, mulailah Alvin memainkan beberapa gerakan  menipu miliknya, keadaan semakin terdesak, Alvin segera menendang bola  dan mengopernya kea rah Iel yang kebetulan sedang bebas dengan kaki  kirinya.
“Ambil, Yel…” Teriaknya. Hupp. Kaki kanan Iel menahan bola yang  menggelindinng di tanah itu. Kemudian segera menggiring bola semakin  mendekati gawang tim lawan. Sesekali, Iel memainkan beberapa gerakan  unik miliknya sambil menggiring bola. Aku yang tak mengerti jalan  permainan hanya bisa diam di tempat, bengong karena melihat permainan  lincah nan gesit Sahabat-sahabatnya Rio. Kemudian Iel menendang lagi  sehingga bola terlempar jauh dan tinggi membumbung ke udara. Cakka  segera berteriak kepadaku yang dari tadi hanya diam dan bengong.
“Eh, woyy… Rio!! Ambil tuh bola ny! Jangan bengong mulu kerjaan lo!”  teriak nya dari jarak lumayan jauh dari ku. Kalian tau sendiri kan  bagaimana luas nya lapangan sepak bola itu? Oh. Bola itu semakin  mendekati ku. Apa yang harus kulakukan? Berpikirlah Ify! Ayo berpikir!  Jarak bola itu dengan diriku hanya tinggal beberapa meter lagi. Oke. Aku  pasrah saja. Aku segera berjongkok sambil melindungi kepala bagian  atasku dengan kedua tanganku supaya bola itu tidak menghantam kepalaku.
WUSSHH… Bola itu ternyata tidak mengenaiku. Bola itu masih melayang  diudara, namun sudah melewati diriku yang masih dalam posisi sama,  berjongkok sambil melindungi kepalaku dengan kedua tanganku. Takut,  woyy!!
“YAKK… HEADINGG!!” (Apaan sih tuh namanya? Klw mw nyundul bola. Benar2  ga ngerti gue --‘) Suara yang sangat familiar itu memaksaku untuk  mendongakkan kepalaku untuk mencari sumber suara tersebut. Dan ternyata  dugaanku memang benar. Itu RIO -dgn raga Ify-.
Kulihat dia menyentakkan kaki nya ditanah kemudian segera melompat untuk  menyundul bola yg masih saja melayang di udara itu. Ah! Tapi sayang.  Badanku memang lebih pendek dibandingkan badannya. Makanya dia gagal  menyundul bola itu.
“Arghhh… Badan gue pendek sih… Makanya nggak nyampe untuk nyundul bola  nya!” Keluhnya dengan suara kasarnya sambil menendang tanah, ntah apa  maksudnya. Teman-temannya hanya memandang nya dengan tatapan bingung.  Tentu saja. Karena mereka tak pernah melihat IFY yang se-aneh itu.
***
                Permainan dimulai lagi. Kali ini Cakka yang mendapat  bolanya. Segera saja dia menggiring bola mendekati gawang tim lawan. Dia  berlari dengan cepat sambil menggiring bola tersebut. Tapi, tim lawan  akhirnya menghadang Cakka. Mulai lah Cakka menggunakan gerakan menipu  untuk mengecoh lawan. Tapi ternyata keadaan semakin terdesak, akhirnya  Cakka menendang bola tanpa arah. Bola nya malah mendekati ku. Aduh. Aku  harus segera bertindak. Segera saja aku berlari mendekati bola yg masih  melayang itu. Padahal aku tak tau apa yang akan aku lakukan. Pokoknya,  maju aja duluu!!
                GUBRAAKK… Bola itu mengenai wajahku, tapi setelah itu,  bola nya malah memental dan memasuki gawang tim lawan. Yapp. Aku  berhasil memasukkan bola nya ke dalam gawang. Beberapa anak laki-laki  berteriak girang, dan beberapa lagi terlihat cemas akan keadaanku yang  sekarang setengah sadar karena terkena hantaman bola hasil tendangan  Cakka. Salah satunya RIO –dgn raga Ify-. Dia berlari cemas kearahku yang  sekarang duduk di atas tanah. Setelah itu Rio segera berteriak heboh  sambil memegang wajahku.
                “MUKA GUEEE!!! HUAA… KAMPRET LO CAKKAAA!!” teriaknya  sambil terus memandangi ku. Anak-anak yang melihat kejadian itu malah  meledek kami berdua.
                “Eciee… Ify ada rasa nih sama Rio?? Pantesan dari tadi  nggak mau pisah dari Rio. Hahhaha :D” Ledek Riko diikuti tawa menggoda  dari sahabat-sahabat Rio yang lainnya. Huaa… Benar-benar malu!
***
                Sekarang kami sudah berada di perjalanan pulang. Aku,  Rio dan teman-temannya yang ikut bermain bola bersama kami pulang  bersama-sama. Tapi sebelumnya, kami mampir dulu ke sebuah mini market.  Kata mereka sih untuk jajan. Jajan apa yah? Di dalam mini market, mereka  semua mulai sibuk mengambil jajanan mereka. Rio juga ikut jajan. Aku  hanya memandang mereka dengan tatapan bingung. Karena aku belum pernah  sama sekali jajan setelah pulang sekolah. Biasanya aku akan segera  pulang setelah sekolah usai.
                “Eh, Yo… Tumben nggak mau jajan? Biasanya paling cepat  tuh kalau mau jajan?” Sindir Cakka pada ku yang masih saja bingung  menatap berbagai macam makanan yang dikemas dengan bungkus yg cukup  menarik dan dipajang di etalase toko.
                Kini kulihat Rio –dgn raga Ify- sedang menjilati es krimnya. Sepertinya enak. Bagaimana yah rasanya?
                “Ehm, Yo… Enak ga sih es krimnya?” Tanya ku ingin tahu.  Memang itu adalah sebuah pertanyaan bodoh. Tapi jujur. Seumur hidup, aku  belum pernah makan es krim. Aneh bukan? Itu karena keinginanku sendiri.  Aku tak pernah jajan karena uang jajan yang biasanya diberi oleh orang  tua ku selalu kutabung. Lagipula, Jajanan seperti es krim itu bisa saja  mengandung sesuatu yang tidak baik untuk ku.
                “Enak banget. Mau lo? Gue traktir deh…” Ucapnya seraya mengambil sebungkus es krim lagi untukku.
                “Nih… Coba deh…” Katanya sambil menyodorkan es krim  tersebut kepadaku. Kemudian dia melanjutkan makannya sampai-sampai  mulutnya penuh es krim. Dan, yakk! Setelah gue coba, ternyata es krim  itu enak banget! Dingin-dingin manis. Cocok dimakan setelah latihan bola  tadi. Makasih Rio :)
***
                Kami melanjutkan perjalanan pulang lagi sambil menikmati  jajanan kami masing-masing. Kadang kami saling bercanda. Dan harus  kuakui, baru kali ini aku merasa penuh bahagia karena sekarang aku  mempunyai banyaaakk teman. Jadi inilah yang dirasakan Rio. Rasanya aku  ingin seperti ini terus. Hidup dikelilingi sahabat-sahabatku.
                “Eh, Yo… Sundulan kepala lo tadi keren banget! Gaya  Baru, yah? Hahhaha :D” Ucap Iel sambil menyenggol siku ku kecil dan  hanya aku balas dengan sebuah senyuman kecil. Rio –dgn raga Ify- hanya  diam saja melihat aku dan sahabat-sahabatnya.
                “Tapi, Ify keren juga lho tadi… Berbakat lo, Fy… Lain  kali ikut kita latihan lagi yuk…” Ajak Alvin pada Rio –dgn raga Ify-.  Iel, Cakka dan Riko juga setuju dengan pernyataan Alvin barusan. Aku  lagi-lagi hanya tersenyum kecil. Hehehe… Aku dipuji oleh mereka. Yah,  biarpun mereka tak sadar kalau yang mereka puji itu ternyata adalah Rio.
                “Hehehe… Okeoke… Sipp… Gue pasti ikut lagi.” Jawab Rio  –dgn raga Ify- sambil tertawa kecil. Sampai di persimpangan jalan,,  Riko, Iel, Cakka dan Alvin segera berpisah dari kami. Aku dan Rio –dgn  raga Ify- masih berdiri disana, menunggu sampai mereka benar-benar sudah  tak ada lagi. Setelah punggung mereka tak kelihatan lagi, barulah aku  dan Rio –dgn raga Ify- saling berpandangan.
                “Oke, Fy… Sekarng kita harus pulang ke rumah  masing-masing. Lo pulang ke rumah gue, dan gue pulang ke rumah lo.  Ngerti?” Tanya Rio –dgn raga Ify- langsung to the point.
                “Oke oke… Tapi aku nggak tau kamu tinggal dimana… Bisa  aku minta alamatnya?” Tanyaku pada Rio –dgn raga Ify-. Kami pun saling  bertukar alamat dan mulai menjelaskan beberapa hal yang penting yang  harus aku lakukan di rumah Rio nanti. Begitu pun sebaliknya. Dan sesudah  itu segera pulang karena pada saat itu hari sudah mulai sore.
***
@ Rumah Rio
                Aku berjalan masuk ke dalam rumah itu dengan ragu-ragu.  Terang saja, ini baru kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah Rio.  Bahkan aku tak mengenal seorang pun disana. Aku mengetuk pintu dengan  halus. Dan sesudah itu, pintu dibuka oleh seorang Ibu yang umurnya  berkisar 40-an tahun. Sepertinya dia adalah Ibu nya Rio.
                “Ternyata kamu, Rio… Ayo masuk sana. Habis itu kita  makan siang.” Ujar Ibunya Rio padaku. Aku pun mengangguk canggung dan  segera masuk ke dalam rumah. Untung saja Rio menjelaskan seluk beluk  rumahnya. Jadi aku dapat menemukan kamar Rio dengan mudah. Setelah  memasuki kamar Rio yang seperti kapal pecah itu, aku segera  menghempaskan diri di atas kasur empuk miliknya sambil memejamkan  mataku. Kemudian mulai mengingat lagi apa-apa saja yang aku lakukan  seharian ini. Bersenang-senang dengan sahabat baruku.
Aku bangkit lagi kemudian segera menukar seragam ku dengan baju rumah  milik Rio. Aku juga mulai membereskan kamarnya yang seperti kapal pecah  itu. Dan setelah itu barulah aku keluar kamar dan segera bergabung  dengan kedua orang tua Rio yang sudah duduk manis menanti kehadiranku di  meja makan. Ku tarik kursi yang tersisa dan segera duduk disitu. Ayah  Rio mengajak aku dan keluarga Rio untuk berdoa bersama dan kemudian  segera menikmati makanan seadanya.
Aku tetap lah Ify. Meskipun kini aku sedang menggunakan tubuhhnya Rio.  Jadi aku bersikap sebagaimana Ify yang biasanya. Dengan tutur kata yang  sopan, dengan perilaku yang baik dan sopan. Aku mengambil sendok dan  garpu kemudian memakan makanan dengan sopan. Heyy… Sepertinya aku sedang  dipandangi oleh keluarga Rio. Ada apa? Ada yang salah dengan ku?
“Ckckck… Sejak kapan lo berubah jadi sopan gini, Yo? Heran gue.” Tanya  Kakaknya Rio yang bernama Kak Zahra. Yah, Rio tadi memang menjelaskan  semua tentang keluarganya padaku.
“Nggak kok kak… Lagi pula, kalau makan itu memang harus sopan dan  pelan-pelan kann? Biar gak keselek?” Jawabku dengan sopan. Kemudian  kupandangi kedua orang tua Rio yang sedang melihatku terharu. Uhh… Apa  kelakuan Rio memang sangat buruk? Sampai-sampai begitu orang tua Rio  melihat kelakuanku yang sopan ini jadi terharu karena mereka mengira  kalau putra mereka sudah berubah menjadi Rio yang sopan dan baik? Aku  jadi khawatir dengan keadaan di rumah ku. Apa kah Rio akan berlaku yang  tidak-tidak disana?
Selesai makan, aku segera berlalu ke kamarku. Dan lagi-lagi ini membuat orang tua Rio tercengang karena kelakuanku.
“Lho? Mau ngapain, Rio? Nggak nonton bola dulu? Kemarin katanya kamu mau  nonton. Yaudah nonton aja sana.” Tanya Ibu nya Rio pada ku.
“Hah? Nggak deh, Bu… Rio mau ngerjain PR aja.” Jawabku sambil tersenyum  kecil pada Ibu Rio, kemudian segera berlalu ke kamar Rio. Sebelum  memasuki kamar nya, aku bisa mendengar isakan tangis haru Ibu nya Rio.  Uhh… Dasar Rio. Seburuk itukah kelakuan mu? Kira-kira apa yang sedang di  lakukan Rio yang asli di rumah ku yah?
***
                Pagi harinya di Sekolah, Aku memasuki kelas. Saat itu  kelas memang masih sepi. Hanya ada beberapa murid yang sedang bertugas  piket membersihkan kelas yang ada disana. Aku yang kebetulan bukan  jadwalnya piket segera saja duduk di bangku Rio. Kemudian mulai  membaca-baca buku milik Rio.
                Tak sengaja, aku melihat Shilla yang tengah membawa  sebuah vas bunga yang akan diletakkan di atas meja guru. Tapi sepertinya  dia tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, sepertinya dia akan segera  terjatuh. HUPP… Hey! Sepertinya ada yang menolong Shilla. Siapa dia?
                JREENNGG…
                “Lho? Ify? Kok penampilan kamu jadi berubah begini,  sih?” Tanya Shilla pada orang yang tadi membantunya, RIO –dgn raga Ify-.
                “Ada apa, Shill??” Beberapa murid yang agak terkejut dengan teriakan Shilla mendekati nya.
                “Ini, lho teman-teman… Ify merubah penampilannya… Kamu  keren, Fy…” Tutur Shilla pada Rio –dgn raga Ify-. Yah, Rio memang telah  merubah penampilan ku sepenuhnya. Kini aku melihat seorang Ify yang  lain. Rambut yang biasanya di kepang dua rapi itu, kini hanya digerai  lurus menambah keanggunan seorang Ify. Kenapa aku tak pernah mencobanya,  yah?
                “Hehehe… Makasih, lho… Gue emang lagi bosan aja sama  penampilan gue yang kayak gitu terus. Jadi, tadi pagi gue coba ubah  penampilan gue.” Jawab Rio –dgn raga Ify- diikuti tawa kecilnya. Harus  kuakui, Ify yang kulihat sekarang memang sangat berbeda dengan Ify yang  dulu. Kau hebat, Rio… :)
                Kini Rio –dgn raga Ify- mulai mendekat kearahku. Kemudian dia membisikkan sesuatu di telingaku.
                “Sekali-sekali lo coba ubah penampilan lo deh… Kayak gue  ini…” Bisiknya ramah. Aku hanya tersenyum kecil mendengar perkataannya.
                “Ify… Gue mau nyalin PR Matematika lo, dong… Gue belum  kerjain, nih…” Ujar Sion tiba-tiba sambil menarik-narik lengan kemeja  Rio –dgn raga Ify-. Oh iya. Apa Rio sudah mengerjakan PR ku?
                “Aduhh… Gue Lupaa!!” Jawab Rio –dgn raga Ify- sambil menepuk keningnya.
                “Ahhh… Bohong kan lo? Nggak mungkin lah seorang Ify bisa  lupa kalau ada PR… Gimana sih lo?” Tanya Sion tak percaya dengan  jawaban Rio –dgn raga Ify- barusan.
                “Benerann… Sumpah! Gue nggak bohong!” Jawab Rio –dgn raga Ify-.
                Tiba-tiba, Ntah darimana aku mendapat sebuah keberanian  untuk membantu Sion. Langsung saja aku berbicara padanya.
                “PR aku sudah selesai kok, Sion… Kamu mau pinjem?” Tanya  ku ragu-ragu. Kulihat Sion mengerutkan keningnya. Eh? Bukan hanya Sion.  Tapi semua murid yang sedang berada di kelas mengikuti gerakan Sion.  Ada yang aneh?
                “Bohong kan, lo… Gue tau kalau Rio itu nggak pernah  ngerjain PR nya sekali pun. Coba sini gue cek…” Ujar nya, kemudian  memintaku untuk menunjukkan buku PR milik Rio yang kemarin sudah aku  kerjakan sepulang sekolah. Langsung saja aku menunjukkan buku itu pada  Sion. Tak hanya Sion. Murid-murid yang lain pun ikut mengecek buku PR  ku. Tak lama setelah membaca seluruh jawaban ku, Agni yang notabene nya  adalah murid terpintar kedua setelah aku segera membelalakkan matanya.
                “Eh, Gilee… Ini siih jawabannya benar semua…” Ujarnya  tak percaya yang sukses mengundang ekspresi tak percaya dari murid-murid  yang lainnya.
                “Kalau gitu, gue mau nyalin!” Tegas Sion seketika.  Ternyata bukan hanya SIon yang belum menuntaskan PR Matematika itu.  Hampir sebagian murid di kelasku rupanya juga belum mengerjakan PR  mereka. Segera saja buku PR milik Rio itu dikerubungi oleh mereka. Eh…  Rio –dgn raga Ify- juga ikut nyalin lho... Hihihi :D
***
Bel pulang sudah lama berbunyi. Kini, aku dan Rio –dgn raga Ify- sedang  berada di lapangan sepak bola. Latihan belum dimulai. Jadi, aku dan Rio  lebih memilih untuk duduk di sebuah kursi yang memang sudah tersedia di  pinggir lapangan sepak bola. Kami duduk dalam diam. Sampai akhirnya…
“Ify/Rio…” Ucap kami berdua bersamaan. Kami saling memandang, kemudian  tertawa bersama. Setelah itu, kami memulai pembicaraan serius.
“Rio… Selama aku jadi kamu, hidup aku jadi lebih ceria. Kau tau kenapa?  Karena kini aku punya banyak teman. Yah, meskipun mereka tak tau kalau  sebenarnya di dalam raga mu ini, seorang Ify sedang bersemayam di  dalamnya.” Ucap ku sambil memandang awan, menerawang ke angkasa. Aku  melengos sekali.
“Rasanya,, aku ingin jadi seperti ini terus…” Ucap ku tiba-tiba. Aku  sendiri tak menyadari apa yang baru saja aku katakan. Ku dengar dia  terkekeh kecil.
“Itu sih enak di eloo…” Tanggapnya. Aku hanya tersenyum kecil mendengar ucapannya barusan.
“Apa kita harus jadi seperti ini terus, Yo?” Tanya ku pada Rio –dgn raga Ify-. Agak lama baru aku dapat mendengar jawabannya.
“Mungkin…” Jawabnya simple. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum kecil  mendengar jawabannya. Sesudah dia menjawab pertanyaan terakhir ku tadi,  kami saling diam lagi. Sampai akhirnya…
BRUAKKK…
Kepalaku dan Kepala Rio –dgn raga Ify- saling terbentur. Aku merasa  pusing sekali. Penglihatan ku mulai berkunang-kunang. Ada apa ini? Tapi  tak lama setelah itu, Aku merasa lebih baik. Lebih segar dari yang tadi  malah. Aku membuka mataku, melihat ke sekeliling, dan yang terakhir, aku  melihat kearah tubuhku. Mataku terbelalak kaget saking tak percaya nya.  AKU KEMBALI!! Jiwa ku sudah berada di tubuhku seperti semula. Aku  mengalihkan pandanganku kea rah Rio yang juga sedang meraba-raba  tubuhnya. Ia juga kelihatannya senang sekali. Kemudian dia menatapku.  Ntah ada angin apa, aku dan Rio terlonjak dari duduk saking gembiranya.  Sambil berpegangan tangan dan melompat-lompat, aku dan Rio meneriakkan  kata-kata yang sama.
“KITA KEMBALI! KITA KEMBALI!!” Ujar kami berdua bersamaan sambil melompat-lompat bahagia.
“Eh… Lo berdua jangan kayak gitu deh… Bikin gue ngiri aja…” Sahut  seseorang di belakang kami. Aku dan Rio memutar kepala masing-masing  untuk melihat si empunya suara. RIKOO?? Ternyata dia yang telah  membenturkan kepala kami beruda tadi. Huaaa… Terimakasih Rikoo… XD
Setelah melihat Riko, Rio langsung memeluk Riko dengan tiba-tiba.
“Huaa… Thanks so my brother… I Love you, I Love you…” Teriak Rio sambil  berusaha untuk mecium Riko. Segera saja Riko menendang kaki Rio karena  ngeri melihat tingkah Rio yang sangat aneh itu.
“Ishh… Najiss!! Gue masih normal, Yo… Lo nggak usah anarkis gitu deh…”  Ujar Riko asal saja. Rio yang kaki nya barusan di terjang oleh Riko  sekarang malah tergeletak di tanah sambil memegangi lututnya dan  meringis kesakitan.
“Gue juga masih normal kalii…” Teriak Rio pada Riko.
“Lha terus? Tadi maksud lo apaan meluk-meluk gue? Mau cium gue lagi… Ihh… Ngeri gue!” Riko mulai parno.
“Hehehe… Sorry, brother… Tadi ada kejadian yang sangat AJAIB!! Itu semua  berkat lo! BERKAT LO, MAMENNT!!” Teriak Rio pada Riko lagi.
“Kejadiaan ajaib?? Apaan?” Tanyanya bingung pada Rio. Namun Rio malah  membiarkan Riko yang masih menyimpan segudang pertanyaan. Rio malah  tersenyum senang padaku.
“Nggak kecewa kan, Fy??” Tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng kecil sambil menyunggingkan senyum ku pada nya.
“Ahh… Udah deh. Dari pada gue tambah bingung, labih baik kita main bola  aja. Yuk, Yo…” Ujarnya sambil mengajak Rio main bola. Rio segera pergi  meninggalkanku, mengikuti Riko menuju lapangan. Disana juga sudah ada  Alvin, Iel dan Cakka yang ternyata juga ikut melihat aku dan Rio tadi.  Sepertinya aku harus pulang sekarang. Aku sudah tak diperlukan lagi  disini kan? Dengan senyuman yang masih tersungging di bibirku ini, aku  berlalu meninggalkan lapangan.
“Tunggu, Fy…” Seseorang menahan tanganku. Aku berbalik menatap orang tersebut dan mendapati Rio yang sedang mengenggam tanganku.
“Ikut kita main bola yuk, Fy…” Ajaknya padaku sambil tersenyum. Aku  merasa sangaaaatt bahagia dan terharu. Yah, meskipun kini aku tidak  menggunakan tubuh Rio lagi, aku masih tetap bisa bersahabat dengan  sahabat-sahabatnya, apalagi bersahabat dengan Rio. Inilah yang  kuimpi-impikan dari dulu. Mempunyai banyak teman yang mengelilingiku.  Sekarang semua sudah tercapai. Aku tak boleh menolak tawaran itu. Aku  menerima ajakan Rio dan ikut bergabung dengan teman-temannya. Moment  paling bahagia dalam hidupku. Terimakasih Rio, karena sudah banyak  membantuku belakangan ini.
THE END
Yakk… Akhirnya setelah sebulan aku mengetik cerpen ini, ternyata kesampaian juga untuk di post. Makasih buat yang udah baca.
Kasih kritik dan saran nya yah supaya aku bisa memperbaiki kesalahan yang telah aku buat dalam cerita ini. Makasih semuaa… :D




0 komentar:
Posting Komentar